Hati yang Hidup atau Pendengaran yang Hadir
Hati yang Hidup atau Pendengaran yang Hadir adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Al-Fawaid. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A. pada Kamis, 13 Shafar 1447 H / 7 Agustus 2025 M.
Kajian Islam Tentang Hati yang Hidup atau Pendengaran yang Hadir
Adapun kelanjutannya, sehubungan dengan firman Allah dalam surat Qaf ayat ke-37, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati, atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf [50]: 37)
Dalam ayat ini, Allah menyebut dua jenis orang yang bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur’an: (1) orang yang memiliki hati, atau (2) orang yang mengonsentrasikan pendengarannya dalam keadaan hatinya hadir, tidak lalai.
Menariknya, kata penghubung yang digunakan adalah “أَوْ” (atau), bukan “وَ” (dan).
Adapun jawaban dari persoalan tersebut, dijelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata penghubung “atau” dalam ayat ini karena mempertimbangkan keadaan orang yang ditujukan dengan ayat-ayat Al-Qur’an ini. Artinya, kondisi manusia yang menjadi objek seruan berbeda-beda.
Di antara manusia, ada yang hatinya hidup—selalu sadar dan mudah menerima pelajaran. Fitrahnya masih murni dan belum tercemar. Orang seperti ini, meskipun hanya memenuhi tiga dari empat syarat, ia tetap bisa mengambil manfaat dari Al-Qur’an secara sempurna. Hatinya telah siap menyambut petunjuk.
Ketika ia berpikir dan menggunakan hatinya, maka akal dan kalbunya akan membimbingnya kepada kebenaran Al-Qur’an, serta meyakini bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hatinya menjadi saksi atas kebenaran berita yang dibawa oleh Al-Qur’an.
Masuknya ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam hatinya menjadi cahaya yang menyinari cahaya fitrahnya. Inilah makna firman Allah:
…نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ…
“Cahaya di atas cahaya. Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur [24]: 35)
Orang yang berada dalam kondisi ini tidak memerlukan proses panjang untuk menerima kebenaran. Cukup dengan mendengar atau membaca ayat Al-Qur’an, hatinya langsung tersentuh. Ia termasuk hamba-hamba Allah yang memiliki hati yang hidup dan fitrah yang masih terjaga.
Inilah sifat orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّ
“Dan orang-orang yang diberi ilmu memandang bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar.” (QS. Saba [34]: 6)
Mereka adalah orang-orang yang hatinya telah siap menerima petunjuk. Sebagian dari Ahlulkitab yang mempelajari kitab-kitab terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah membenarkan hal ini. Ketika mereka berjumpa dengan kebenaran, mereka langsung mengimaninya.
Lihatlah kisah keislaman sahabat mulia, Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu. Ia mencari kebenaran dari negeri ke negeri, hingga akhirnya menemukan cahaya Islam.
Demikian pula kisah dalam Shahih Bukhari, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertemu dengan Malaikat Jibril di Gua Hira. Setelah peristiwa itu, beliau menceritakan kejadian tersebut kepada seorang yang berilmu dari kalangan Ahlulkitab, Waraqah bin Naufal—anak paman Khadijah Radhiyallahu ‘Anha. Waraqah mempersaksikan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menyatakan keimanannya. Ia bahkan bertekad membela beliau seandainya masih hidup. Namun, Allah telah mewafatkannya terlebih dahulu.
Ada orang-orang yang seperti ini. Mereka memiliki ilmu dan kesiapan untuk menerima kebenaran. Ketika membaca Al-Qur’an, cahaya petunjuk itu langsung menyatu dengan cahaya fitrah di hati mereka. Inilah yang dimaksud dengan “cahaya di atas cahaya”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah (Pemberi) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang yang berkilau seperti bintang yang sangat terang, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi walau tidak disentuh api. Cahaya (Al-Qur’an) di atas cahaya (fitrah). Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur [24]: 35)
Dalam sebuah atsar yang shahih, disebutkan bahwa seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Hampir-hampir orang yang beriman mengucapkan kalimat hikmah, meskipun belum pernah mendengar dalilnya.” Hal ini karena ia telah memiliki iman di hatinya, serta petunjuk secara umum yang telah tertanam kuat dalam dirinya. Walaupun belum pernah mendengar hadits tentang suatu perkara, ketika ia akhirnya mendengarkannya, maka hal itu menjadi cahaya di atas cahaya.
Maksudnya, ada orang yang hatinya hidup karena telah terbiasa membaca Al-Qur’an dan hadits, serta senantiasa membersihkan penyakit hatinya. Maka, kesiapan menerima kebenaran dan kebaikan dalam dirinya sangat terbuka. Ketika ia membaca atau mendengar ayat Al-Qur’an, maka ayat itu akan menguatkan cahaya fitrah dan iman di dalam hatinya. Itulah yang disebut dalam Al-Qur’an: “Cahaya di atas cahaya.”
Inilah cahaya fitrah yang berpadu dengan cahaya wahyu. Orang seperti ini telah memiliki keyakinan umum yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits yang sahih. Maka ketika mendengar bacaan Al-Qur’an, jiwanya semakin kuat dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah:
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal [8]: 2)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan kandungan ayat ini dalam kitabnya Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah, yang ditulis untuk membantah kelompok Jahmiyyah yang menolak sifat-sifat Allah. Dalam kitab tersebut, beliau menguraikan hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam ayat ini dengan sangat rinci dan mendalam. Ini menggambarkan kepada kita bahwa Al-Qur’an dan sunnah Nabi memang diturunkan untuk menghidupkan hati manusia.
Ketika hati telah hidup, maka kebenaran mudah masuk, dan kebaikan akan senantiasa terpancar dari dirinya. Itulah sebabnya, salah satu tujuan terbesar diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengobati penyakit hati, sebagaimana firman Allah:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌۭ لِمَا فِى ٱلصُّدُورِ
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (nasihat) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada.” (QS. Yunus [10]: 57)
Barangsiapa ingin mendapatkan nurun ‘ala nur (cahaya di atas cahaya), hendaknya memulai dengan menghidupkan cahaya dalam hatinya. Menguatkan iman melalui pembelajaran Al-Qur’an, mempelajari akidah yang benar, memahami tauhid, serta mengikuti jalan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini dilakukan dengan senantiasa membaca Al-Qur’an, merenungkan maknanya, dan menjadikannya sebagai obat bagi penyakit hati.
Penyakit hati adalah penghalang utama bagi cahaya petunjuk. Ia memadamkan cahaya iman dan membuat mata hati menjadi buta. Maka cahaya itu harus dihidupkan kembali agar mata hati menjadi sehat. Setelah itu, barulah seseorang mudah mengambil manfaat dari kebenaran yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dengan jalan inilah seseorang dapat memperoleh cahaya yang dimaksud dalam firman Allah: nurun ‘ala nur. Orang yang hatinya hidup akan mudah menghimpun makna Al-Qur’an dengan hatinya. Ia mentadabburi, merenungi, dan mengeluarkan kebaikan serta keberkahan dari kandungan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memang diturunkan sebagai petunjuk untuk memperbaiki hati manusia.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55418-hati-yang-hidup-atau-pendengaran-yang-hadir/